Saturday, December 7, 2013

TEORI PEGEMBANGAN KURI KULUM

TEORI PEGEMBANGAN  KURI KULUM


Pengembangan kurikulum untuk negara yang besar, penuh ragam, dan miskin, seperti Indonesia, bukanlah suatu pekerjaan mudah. Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi memberikan tekanan yang sama, kalau tidak dapat dikatakan lebih kuat dibandingkan perbedaan filosofi, visi, dan teori yang dianut para pengambil keputusan mengenai kurikulum. Perbedaan filosofi, visi, dan teori para
pengambil keputusan seringkali dapat diselesaikan melalui jenjang otoritas yang dimiliki seseorang walaupun dilakukan dalam suatu proses deliberasi yang paling demokratis sekali pun.

Ketika perbedaan filosofi, visi, dan teori itu terselesaikan maka proses pengembangan dokumen kurikulum dapat dilakukan dengan mudah. Tim yang direkrut adalah tim
yang diketahui memiliki filosofi, visi, dan teori yang sejalan atau bahkan mereka yang tidak memiliki ketiga kualitas itu tetapi ahli dalam masalah konten
yang akan
dikembangkansebagaikontenkurikulum.
   
        Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut memang berposisi sebagai objek periferal dalam proses pengembangan kurikulum nasional. Posisi sebagai objek ini tidak menguntungkan karena ia seringkali diabaikan oleh para otoritas pengembang kurikulum. Sayangnya, kedudukannya yang menjadi objek berubah menjadi subjek dan penentu dalam implementasi kurikulum tetapi tetap tidak dijadikan landasan ketika guru mengembangkan kurikulum.

         Padahal keragaman itu berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam berproses dalam belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Artinya, keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum baik sebagai proses (curriculum as observed, curriculum as experienced, curriculum as implemented, curriculum as reality) tetapi juga kurikulum sebagai hasil.

       Posisi keragaman sebagai variabel bebas memang berada pada tataran sekolah dan masyarakat di mana suatu kurikulum dikembangkan dan  diharapkan menjadi pengubah yang tangguh sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dapat diperkirakan (perceived needs of a society). Secara nyata pengaruh tersebut berada pada diri guru yang bertanggungjawab terhadap pengembangan kurikulum dan pada siswa yang
menjalani kurikulum.

      Dengan perkataan lain, pengaruh tersebut berada pada tataran yang tak boleh iabaikan sama sekali di mana studi kurikulum memperlihatkan kerentanan, dan kemungkinan besar kurikulum berubah atau bahkan berbeda sama sekali dengan apa yang telah direncanakan dan diputuskan (Waring, 1982 ). Oleh karena itu, keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik harus menjadi faktor yang diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum.

Pokok Bahasan

KURIKULUM DAN LANDASAN PENGEMBANGAN
       Sudah sejak lama para ahli pendidikan dan kurikulum menyadari bahwa kebudayaan adalah salah satu landasan pengembangan kurikulum (Taba,1962) di samping landasan lain seperti perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi. Ki Hajar Dewantara (1936, 1945, 1946) menyatakan bahwa kebudayaan merupakan faktor penting sebagai akar pendidikan suatu bangsa. Ahli kurikulum lain seperti M. Print (1993:15) menyatakan pentingnya kebudayaan sebagai landasan bagi kurikulum dengan mengatakan bahwa kurikulum is a construct of that culture.

Kebudayaan merupakan keseluruhan totalitas cara manusia hidup dan mengembangkan pola kehidupannya sehingga ia tidak saja menjadi landasan di mana kurikulum dikembangkan tetapi juga menjadi target hasil pengembangan kurikulum.
Longstreet dan Shane (1993:87) melihat bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu eksternal dan internal. Lebih lanjut, keduanya menulis (Longstreet dan Shane, 1993:87) :

       Kedudukan kebudayaan dalam suatu proses kurikulum teramat penting
tetapi dalam proses pengembangan seringkali para pengembang kurikulum kurang memperhatikannya. Dalam realita proses pengembangan kurikulum
sering diwarnai oleh pengaruh pandangan para pengembang terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Pertimbangan mengenai kebutuhan nak didik dan masyarakat sering dijawab dengan jawaban mengenai adanya perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena, itu kedudukan yang penting dari kebudayaan terabaikan pula seperti halnya landasan lainnya yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum.

       Secara intrinsik, filosofi, visi, dan tujuan pendidikan, para pengembang kurikulum sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, pandangan hidup, dan keyakinan hidupnya. Faktor penentu filosofi, visi, dan tujuan tersebut sangat ditentukan oleh akar budaya dan kebudayaan dari para pengembang kurikulum. Ini yang dikatakan oleh Longsreet dan (Shane1993:162) dengan pernyataan we are largely unaware of the numerous, culturally formed qualities that characterize our behaviour. Oleh karena itu, baik secara langsung maupun tidak langsung, proses internal pengembangan suatu kurikulum sangat pula dipengaruhi oleh kebudayaan parapengembangkurikulum.
 

        Landasan lain yang diperlukan dalam pengembangan kurikulum adalah teori belajar yaitu teori tentang bagaimana siswa belajar. Selama ini, orang berbicara tentang teori belajar yang dikembangkan terutama dari psikologi. Teori belajar seperti yang dikenal dalam literatur dikembangkan dari berbagai aliran dan teori dalam psikologi seperti behaviorisme (stimulus-response, conditioning, operant conditioing, modelling, dan sebagainya), kognitif (skemata, akomodasi, dan asimilasi dari Piaget, meaningful learning dari Ausubel, dan sebagainya). Teori belajar yang dikembangkan dari pandangan ini tentu saja sangat berguna dan dikembangkan berdasarkan hasil studi yang mendalam dan dalam waktu yang cukup panjang.

        Sayangnya, teori belajar yang dikembangkan berdasarkan pandangan psikologi ini sering memiliki asumsi bahwa siswa belajar dalam suatu situasi yang value free atau lebih tepat dikatakan cultural and societal free. Teori-teori belajar itu tidak memperhitungkan bahwa siswa yang belajar adalah suatu pribadi yang hidup dan bereaksi terhadap stimulus (apakah dikembangkan berdasarkan teori behaviorisme
atau kognitif) yang tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial dan budaya di mana ia hidup. Dalam bukunya yang berjudul sociocultural origins of achievement,( Maehr 1974) mengatakan bahwa keterkaitan antara kebudayaan dan bahasa, kebudayaan dan persepsi, kebudayaan dan kognisi, kebudayaan dan keinginan berprestasi, serta kebudayaan dan motivasi berprestasi merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap belajar siswa.


         Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Wloodkowski dan( Ginsberg 1995) yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah dasar dari intrinsic motivation dan mengembangkan model belajar yang dinamakan a comprehensive model of culturally responsive teaching yang menurut mereka adalah a pedagogy that crosses disciplines and cultures to engage learners while respecting their cultural integrity.

         Oleh karena itu, sudah saatnya untuk memperhitungkan faktor kebudayaan sebagai landasan penting dalam menentukan komponen tujuan, materi, proses, dan evaluasi suatu kurikulum, dan kegiatan belajar siswa. Konsekuensinya, para pengembang kurikulum di tingkat pusat, daerah, dan sekolah harus memanfaatkan
kebudayaan sebagai landasan pengembangan secara lebih sungguh-sungguh dan sistematis

0 komentar

Post a Comment